Oleh: TM Hari Lelono
Peneliti pada Balai Arkeologi Yogyakarta
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0509/21/humaniora/2064238.htm
—————————————————-
Dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV di Cipanas, 1986, dibahas oleh
Boechari (alm)seorang epigraf (tulisan kuna) tentang dunia
perbanditan melalui data prasasti.
Fenomena kekerasan dalam masyarakat Jawa kuno dapat diketahui melalui
kajian arkeologi dari sumber-sumber tertulis berupa prasasti, lontar,
dan naskah-naskah. Adapun penggambaran dalam beberapa panil relief
candi terdapat di Candi Mendut di Jawa Tengah serta Candi Surawana
dan Rimbi di Jawa Timur.
Pemerintah kini sedang disibukkan oleh ulah para preman yang sering
mengganggu ketenteraman dan segala bentuk ketidaknyamanan bagi
masyarakat. Polisi sebagai pengayom masyarakat harus bekerja keras
dan menumpas habis segala bentuk kejahatan. Namun, usaha itu akan sia-
sia jika tidak didukung sepenuhnya oleh masyarakat. Gambaran ini juga
terjadi pada masa pemerintahan kerajaan besar seperti Sriwijaya,
Kediri, Singosari, dan Majapahit.
Pada masa Jawa kuno, serangkaian undang-undang dan hukum berupa
pemberian sanksi yang keras diberlakukan tidak saja pada pelaku
kejahatan, tetapi juga warga yang desanya sebagai tempat kejadian
perkara (TKP). Sanksi yang diberikan kepada desa-desa tersebut berupa
denda dan pajak yang sangat memberatkan. Oleh karena itu, penduduk
desa membuat pos-pos keamanan untuk meminimalisir kejahatan. Walaupun
upaya itu telah dilakukan, masih sering terjadi karena faktor alam
dan lingkungan berupa hutan lebat dan terisolirnya dari pusat
pemerintahan.
Naskah-naskah hukum (awig-awig) banyak ditemukan di Bali dan ditulis
dalam bahasa Jawa kuno dari masa pasca-Majapahit. Naskah yang ditulis
dan diterjemahkan oleh para sastrawan tersebut diacu dari institusi
kerajaan di India yang diperlukan dalam menjalankan pemerintahan.
Dapat dibayangkan bahwa naskah-naskah hukum yang digunakan oleh para
pejabat kehakiman dari masa klasik (Hindu-Buddha) tidak semuanya
ditulis di atas logam, tembaga, atau perunggu karena tidak praktis
dan terlalu berat. Biasanya ditulis di atas ripta berupa daun lontar
atau karas. Setelah berpuluh-puluh tahun ripta tersebut dapat rusak
dan disalin kembali serta dilakukan perubahan, penambahan, atau
pengurangan pasal-pasal sesuai dengan perubahan bahasa dan
perkembangan masyarakat.
Adanya naskah hukum tadi memberikan gambaran yang jelas bahwa
masyarakat Jawa kuno bukanlah suatu masyarakat yang senantiasa aman,
tenteram, dan damai, jauh dari segala tindak kejahatan.
Kejahatan dari masa ke masa
Sumber-sumber hukum yang tertulis dalam prasasti abad ke-9-10 Masehi
di Jawa Tengah pada masa Dyah Balitung dan naskah pada masa pasca-
Majapahit abad ke-13-15 Masehi memuat tentang hukum dan kerawanan-
kerawanan yang pernah terjadi. Beberapa di antaranya adalah sebagai
berikut.
Pertama, prasasti Balingawan berangka tahun 891 M dari bahan batu
yang ditulis berlanjut pada bagian belakang sebuah arca Ganesa
(disimpan di Museum Pusat Jakarta). Prasasti ini memuat penetapan
sebidang tanah di Desa Balingawan menjadi sima (daerah
perdikan/otonom). Prasasti itu lahir karena rakyatnya ketakutan,
menderita, dan melarat lantaran senantiasa harus membayar pajak denda
atas rah kasawur (darah tersebar berceceran) dan wankay kabunan
(mayat kena embun). Hal itu terjadi karena dalam hukum Jawa kuno desa-
desa yang menjadi tempat berlangsungnya peristiwa kriminal—walaupun
peristiwanya terjadi di tempat lain, tetapi mayatnya ditemukan di
desa tersebut—maka desa yang bersangkutan (TKP) mendapat sanksi
keras harus membayar denda/pajak kepada raja. Kenapa peristiwa
semacam itu bisa terjadi? Hal tersebut berkaitan erat dengan sistem
dan struktur pemerintahan desa yang bergantung pada hierarki
pemerintahan di atasnya sehingga untuk pengamanan desa menjadi kurang
efektif. Akhirnya, permohonan desa tersebut dikabulkan. Desa
Balingawan menjadi sebuah sima, keamanan di jalan besar terjamin,
rakyat desa dan dukuh-dukuhnya tidak lagi merasa ketakutan.
Kedua, prasasti Mantyasih (907 M) yang ditulis dalam tiga versi
berbeda, dua di antaranya ditulis di atas lempengan perunggu dan satu
di atas batu, tetapi yang terlengkap yang ditulis di atas lempengan
perunggu. Isi prasasti berkisar tentang penetapan sima dari Raja
Rakai Watukura Dyah Balitung kepada 5 patih yang telah berjasa
mengerahkan rakyat Desa Mantyasih pada waktu diselenggarakan pesta
perkawinan raja. Pada suatu ketika, rakyat desa merasa ketakutan oleh
ulah para penjahat dan mereka tidak dapat mengatasinya. Kelima patih
diberi tugas untuk menumpas dan menjaga keamanan di jalan. Daerah ini
pada masa Jawa kuno terletak di sekitar Gunung Susundara (Sundara)
dan Gunung Sumbing di wilayah Temanggung, Jawa Tengah.
Ketiga, prasasti Kaladi (909 M). Prasasti ini juga bermasa dari Raja
Rakai Watukura Dyah Balitung. Isinya tentang pemberian sima atas
permohonan pejabat daerah yang bernama Dapunta Suddhara dan Dapunta
Dampi karena ada hutan arapan yang memisahkan (desa-desa) itu
menyebarkan ketakutan. Mereka senantiasa mendapat serangan dari
Mariwun yang membuat para pedagang dan penangkap ikan merasa resah
dan ketakutan siang dan malam. Maka diputuskan bersama, hutan itu
dijadikan sawah agar penduduk tidak lagi merasa ketakutan.
Keempat, prasasti Sanguran (928 M). Berisikan beberapa hal yang
menyangkut kejahatan, di antaranya: wipati wankay kabunan (kejatuhan
mayat yang terkena embun), rah kasawur in dalan (darah yang terhambur
di jalan), wakcapala (memaki-maki), duhilatan (menuduh), hidu kasirat
(meludahi), hastacapala (memukul dengan tangan), mamijilakan turuh
nin kikir (mengeluarkan senjata tajam), mamuk (mengamuk), mamumpan
(tindak kekerasan terhadap wanita), ludan (perkelahian?), tutan
(mengejar lawan yang kalah?), danda kudanda (pukul-memukul),
bhandihaladi (kejahatan dengan menggunakan kekuatan magis).
Kelima, naskah Purwwadhigama. Sistem pengadilan zaman klasik membagi
segala macam tindak pidana dan perdata ke dalam 18 jenis kejahatan
yang disebut astadasawyawahara. Penulisan ke-18 hukum tersebut tidak
selalu lengkap, kadang hanya garis besarnya, mungkin beberapa hal
yang dianggap penting/sesuai dengan kondisi saat itu.
Hukum tersebut berisikan: tan kasahuranin pihutan (tidak membayar
lagi utang), tan kawahanin patuwawa (tidak membayar uang jaminan),
adwal tan drwya (menjual barang yang bukan miliknya), tan kaduman
ulihin kinabehan (tidak kebagian hasil kerja sama), karuddhanin huwus
winehakan (minta kembali apa yang telah diberikan), tan kawehanin
upahan (tidak memberi upah atau imbalan), adwa rin samaya (ingkar
janji), alarambaknyan pamalinya (pembatalan transaksi jual-beli),
wiwadanin pinanwaken mwan manwan (persengketaan antara pemilik ternak
dan penggembalanya), kahucapanin watas (persengketaan mengenai batas-
batas tanah), dandanin saharsa wakparusya (hukuman atas penghinaan
dan makian), pawrttinin malin (pencurian), ulah sahasa (tindak
kekerasan), ulah tan yogya rin laki stri (perbuatan tidak pantas
terhadap suami-istri), kadumanin drwya (pembagian hak milik atau
pembagian warisan), totohan prani dan totohan tan prani (taruhan dan
perjudian).
Dari 18 aturan hukum pidana tersebut, ada tiga yang sedang marak
terjadi saat ini, seperti ulah sahasa (tindak kekerasan), ulah tan
yogya rin laki stri (perbuatan tidak pantas terhadap suami istri),
serta totohan prani dan totohan tan prani (taruhan dan perjudian).
Relief candi
Beberapa candi yang memuat adegan kekerasan dapat dilihat di Candi
Mendut, Jawa Tengah, bercorak Buddhis. Pada tangga masuk di sisi
selatan candi peninggalan abad ke-9-10 M itu terdapat panil relief
yang menggambarkan dua figur, salah satunya memegang gada/parang (?),
sedangkan figur yang satunya memegang alat semacam perisai.
Di Jawa Timur, panil-panil relief yang menggambarkan kekerasan dapat
dilihat pada Candi Surawana (Pare, Kediri), merupakan peninggalan
sekitar abad ke-14 M, bercorak keagamaan Buddhis. Pada bagian kaki
candi sisi utara terlihat relief yang menggambarkan adegan
kekerasan/perkelahian, yakni seorang tokoh sedang memilin kepala
seseorang. Sementara pada Candi Rimbi di Bareng, Jombang,
(peninggalan abad ke-13-14 M), pada bagian kaki candi, di sisi
selatan, terdapat gambar dua pria sedang berkelahi di tengah hutan
dengan menggunakan kain cancut.
Fenomena masyarakat Jawa kuno tentang dunia kekerasan tidak terlepas
dari kondisi sosial, ekonomi, dan politik. Para penguasa pada masa
itu sudah mengindahkan aturan-aturan dan nilai-nilai hidup yang
harmonis berupa pandangan hidup berdasarkan kepercayaan/agama. Aturan-
aturan tersebut disosialisasikan dengan cara pembuatan prasasti dan
gambar-gambar pada relief candi yang sarat akan pesan-pesan moral dan
etika, sebagai tuntunan hidup manusia.
Walaupun peraturan dengan segala sanksi hukum begitu kerasnya, bahkan
desa-desa dalam wilayah kekuasaan kerajaan tertentu juga harus
berperan aktif dalam menjaga ketertiban, tetapi masih sering terjadi
tindak kekerasan. Apalagi jika penegakan hukum tidak diimbangi dengan
disiplin dan dedikasi dari aparatur pemerintah beserta kesadaran
seluruh masyarakatnya, niscaya tindak kekerasan masih sering terjadi
di mana-mana, bahkan secara kualitas dan kuantitas semakin merebak di
negeri ini.
0 komentar:
Posting Komentar