- PERJANJIAN LINGGARJATI
Setelah intermeso yang disebabkan terjadinya kup di Yogya, yang menyebabkan cabinet Sjahrir II menyerahkan kekuasaannya kepada Presiden Soekarno, maka pada bulan Agusuts, Presiden menugaskan Sjahrir kembali untuk membentuk kebinet. Pada tanggal 2 Oktober 1946, Sjahrir berhasil membentuk kabinetnya. Kabinet Sjahrir II, yang diberi mandat untuk “berunding atas dasar merdeka 100 %”. Kabinet membentuk delegasi untuk berunding dengan pihak Belanda yang terdiri atas Sjahrir, Amir Sjarifuddin, Moh Roem, A.K Gani, Leimena, Soesanto Tirtoprojo, Soedarsono.
Sementara ini Negeri Belanda pada bulan Juli terjadi pergantian cabinet. Perdana Menteri Schermerhorn (Partai Buruh) diganti oleh I.J.M Beel (Partai Rakyat Katolik). Untuk menyelesaikan persoalan Indonesia, diangkat suatu komisi dengan Undang Undang yang dinamakan Komisi Jenderal (Commisie Generaal) yang terdiri atas Schermerhorn (mantan Menteri), Van Poll, De Boer dan F Sanders sebagai sekjennya, Komisi Jenderal diberi wewenang bertindak sebagai wakil khusus tertinggi dan tugas mempersiapkan pembentukan orde “politik baru di Hindia – Belanda”
Pemerintah Inggris mengangkat Lord Killeam, wakil (Commisioner) khusus Inggris untuk Asia Tenggara, menggantikan Lord Inverchapel. Terlihat adanya keinginan untuk mencapai penyelesaian politik baik dari pihak Belanda maupun Inggris.
Pada tanggal 18 September Komisi Jenderal sampai di Jakarta. Pada tanggal 30 September Killeam mengadakan makan siang dengan Sjahrir, Schermerhorn dan Wright (Wakil Killeam). Setelah makan siang Schermerhorn dan Sjahrir berbicara sendiri. Dalam pembicaraan informal itu, Schermerhorn menguraikan secara garis besar tujuan Komisi Jenderal dan dibicarakan pula beberapa hal yang berkenaan dengan acara perundingan. Sjahrir mengemukakan pendapatnya bahwa sebaiknya delegasi Indonesia dipimpin oleh Dwi-Tunggal Soekarno_Hatta.
Ternyata saran ini pada prinsipnya disetujui oleh Schermerhorn. Hal ini merupakan perubahan besar dalam pandangan politik pemerintah Belanda. Dalam perundingan Hoge Veluwe, pemerintah Belanda menolak bentuk perjanjian Internasional, karena dalam Preambulenya dinyatakan : “… Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Presidennya, Ir Soekarno…” berdasarkan alasan bahwa Presiden Soekarno dianggap sebagai “Kolaborator Jepang”. Meskipun banyak orang Belanda tetap memandang Presiden Soekarno tetap seperti itu, tetapi ternyata Pemerintah Belanda melepaskan Pandangan yang salah itu. Dengan disetujui Soekarno-Hatta untuk ikut serta dalam perundingan, yang masih dipersoalkan oleh Schemerhorn hanya tempat berunding. Delegasi Belanda tidak dapat menerima Yogya, sedang Soekarno-Hatta tidak dapat menerima Jakarta sebagai tempat berunding.
Bagi pihak Indonesia, keikut sertaan Soekarno-Hatta dalam perundingan merupakan suatu keberhasilan. Dunia luar dengan demikian akan memandang Republik Indonesia sebagai negara (meskipun belum diakui de jure), karena telah memenuhi syarat, yakni wilayah tertentu, pemerintah yang nyata yang dipimpin oleh seorang kepala negara (Presiden), cabinet dengan perdana mentrinya, dan adanya perwakilan rakyat (KNIP), dan karena tercapainya persetujuan gancatan senjata (yang akan diuraikan dibawah ini), dan adanya tentara regular. Tidak lagi seperti yang digambarkan oleh Belanda sebagai suatu pemberontakan beberapa “ekstrimis” yang dipimpin oleh “kolabor Jepang”.
Soekarno-Hatta dan Sjahrir sejak kedatangan Belanda sudah sependapat, bahwa disatu pihak harus dicapai persutujuan melalui perundingan dengan Belanda dengan mencapai hasil sebesar mungkin, dipihak lain harus memperkuat wilayah-wilayah Indonesia yang kita kuasai secara fisik dan administrative dan menegakan kedudukan kita di dunia Internasional. Dalam rangka ini perlu dimanfaatkan kehadiran tentara Inggris yang berdasarkan kebijakan Pemerintah Inggris tidak bermaksud menegakkan kembali Pemerintah Belanda. Oleh karenanya, Soekarno-Hatta sejak semula bersedia ikut dalam perundingan dan bertanggung jawab atas hasil-hasilnya.
Sementara itu pada akhir bulan Desember 1945 keadaan Jakarta menjadi sangat berbahaya untuk Soekarno-Hatta, karena serdadu-serdadu KNIL yang tidak disiplin dan teratur mendarat di Tanjung Priok, sehingga demi keamanan Presiden dan Wakil Presiden dipustuskan untuk berhijrah ke Yogyakarta. Tempat tersebut adalah tempat terbaik untuk mengkonsolidasikan kekuatan Republik Indonesia, sementara Sjahrir ditugaskan untuk mengadakan hubungan dengan dunia luar dan berunding dengan Belanda.
Maka dari itu ketika Presiden menerima kabar dari Sjahrir yang dibawa oleh Sudarpo sebagai kurir mengenai persetujuan pihak Belanda atas keikut sertaan Presiden dan Wakil Presiden dalam perundingan, Presiden dan Wakil Presiden segera menyatakan kesediaannya dengan syarat perundingan tidak diadakan di Jakarta.
Pendapat Soekarno-Hatta atas perlunya mereka dalam perundingan diperkuat oleh kunjungan Lord Killearn ke Yogya tanggal 29 Agustus untuk menemui Hatta, Sjahrir dan para Menteri. Inilah untuk pertama kali pejabat tertinggi Inggris berkunjung ke Yogya. Presiden tidak ditemui karena sakit. Lord Killearn dalam kunjungannya ini menerangkan kedudukannya sebagai penengah antara pihak Indonesia dan pihak Belanda dan bahwa tentara Inggris akan meninggalkan Indonesia pada tanggal 30 November 1946.
Yang perlu diputuskan hanya tinggal tempat perundingan. Atas saran Ibu Maria Ulfah, menteri sosial yang berasal dari Kuningan dan mengatahui keadaan sekitarnya, kepada Sjahrir dipilih Linggajati, suatu tempat peristirahatan dekat Kuningan yang iklimnya nyaman serta tidak jauh dari Jakarta dan terletak di daerah RI. Presiden dan Wakil Presiden sebaiknya tinggal di Kuningan.
Dengan pertimbangan kedudukan Soekarno-Hatta, setelah dirundingkan mereka berdua sebaiknya tidak memimpin delegasi, mengingat kedudukannya sebagai Pemimpin Negara. Dengan kehadiran mereka dekat dengan tempat perundingan, mereka dapat mengikutinya jalannya perundingan dan mengambil keputusan akhir.
Tujuan Pimpinan Republik dan delegasi dengan menjalankan perundingan dan apakah tujuannya tercapai.
Sejak awal Hoge Veluwe terdapat 2 tujuan utama, yaitu :
(1) berusaha agar Republik Indonesia diakui oleh sebanyak mungkin negara didunia, sehingga
perjuangan bangsa kita tidak lagi dianggap sebagai “gerakan Nasional” dalam suatu negara
Jajahan, tetapi sebagai negara yang berdaulat penuh,
(2) mempertahankan kekuatan fisik yang telah dibangun.
Pemimpin-pemimpin sadar sepenuhnya bahwa tujuan pertama itu tidak dapat dicapai sekaligus. Tetapi Republik Indonesia, betapapun terbatas wilayahnya, dapat menjadi batu lompatan untuk mencapai tujuan terakhir, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi wilayah Hindia-Belanda.
Sehubungan dengan tujuan ke2, perlu saya kemukakan bahwa suatu perundingan harus dilakukan atas dasar kekuatan-kekuatan Pemerintah Republik dan Delegasinya dalam perundingan ialah rakyat kita yang dengan tegas menolak untuk dijajah kembali. Tentara merupakan ujung tombak perjuangan rakyat kita. Pendapat yang dianut oleh banyak peneliti politik asing bahwa Pemerintah/Delegasi dan tentara merupakan 2 kekuatan yang berdiri sendiri pada dasarnya adalah salah. Delegasi telah membuktikan bahwa dalam perundingan mereka dapat mengambil keputusan-keputusan yang menyangkut bidang Militer (misalnya keputusan mengadakan gencatan senjata 14 Oktober 1946 dan hijrah satuan-satuan TNI yang diputuskan dalam rangka (Perjanjian Renville). Akan tetapi ketentuan yang melemahkan atau mengakibatkan penghapusan tentara kita ditolak karena ketentuan demikian melemahkan pemerintah sendiri.
Dengan adanya Font Militer yang jauhnya beratus-ratus kilometer maka kontak senjata dan tindakan permusuhan lainnya antara Belanda dan TNI/Laskar Rakyat tidak dapat dielakkan, kecuali jika ada perintah dari pimpinan tentara dari kedua belah pihak, berdasarkan suatu persetujuan gencatan senjata diadakan pada tanggal 7 Oktober itu ditandatangani pada tanggal 14 Oktober 1946.
PERUNDINGAN POLITIK
Perundingan politik dimulai di Jakarta, tempatnya bergantian antara Istana Rijswijk (sekarang Istana Negara) tempat penginapan anggota Komisi Jenderal dengan tempat kediaman resmi Sjahrir dipimpin oleh Schermerhorn, sedangkan perundingan di Istana Rijswijk dipimpin oleh Sjahrir.
Sebagai dasar perundingan dipakai rancangan persetujuan yang merupakan kombinasi rancangan Delegasi Indonesia dan Delegasi Belanda. Perundingan di Jakarta diadakan 4 kali dengan yang terakhir tanggal 5 November. Delegasi Republik Indonesia kemudian menuju ke Yogya untuk memberi laporan kepada Presiden, Wakil Presiden dan kabinet dan setelah itu berangkat ke Linggajati.
Lord Killearn datang pada tanggal 10 November dengan menumpang kapal perang Inggris HMS “Verayan Bay”. Beliau diangkut dengan perahu motor ALRI ke Cirebon, diantar dengan mobil ke Linggarjati dan ditempatkan dirumah yang terletak dekat rumah penginapan Sjahrir.
Angkatan Laut Belanda telah mempersiapkan kapal perang HM “Banckert” untuk dipakai sebagai tempat penginapan Delegasi Belanda. Menjelang kedatangan Delegasi Belanda, “Banckert” telah buang jangkar diluar pelabuhan Cirebon. Pada tanggal 11 November Delegasi Belandang datang dengan kapal terbang “Catalina” dan dibawa ke “Banckert”. Seperti apa yang dilakukan satu hari sebelumnya perahu motor ALRI datang untuk menjemput Delegasi Belanda, komandan “Banckert” menolak dan minta Delegasi diangkut dengan perahu patroli “Banckert”. Hal ini ditolak oleh komandan perahu motor ALRI. Akhirnya persoalan ini dipecahkan dengan perkenankannya Delegasi Belanda diangkut perahu patroli “Banckert”, tetapi dikawal oleh perahu motor ALRI.
PERUNDINGAN PERTAMA
Karena “insiden Banckert” Delegasi Belanda baru sampai di Linggajati pukul 11.00 dan karena harus kembali ke “Banckert” jam setengah lima sore, maka perundingan hari itu hanya singkat saja, yakni 3 setengah jam. Schermerhorn memutuskan tinggal di Linggajati karena berpendapat akan menimbulkan kesan kurang baik pada kalangan Indonesia jika ia kembali ke “Banckert”. Kecuali itu ia berpendapat bahwa ia harus memenuhi undangan Presiden untuk makan malam bersama. Ia dapat bertukar pikiran dengan Presiden dan menikmati pertunjukan kesenian angklung.
PERUNDINGAN KEDUA
Sementara itu, Delegasi Indonesia pagi-pagi berkumpul ditempat kediaman Sjahrir untuk mempersiapkan perundingan hari itu. Pasal-pasal rancangan persetujuan dibahas dan direncanakan alasan-alasan yang akan diusulkan. Perundingan hari itu berjalan sangat alot dan berlangsung hampir 9 jam. Dua soal tidak dapat dicapai kesepakatan, yakni soal perwakilan Republik Indonesia di luar negeri dan soal kedaulatan Negara Indonesia Serikat. Dalam soal Pertama, terutama Sjahrir, mendesak supaya Belanda menerima usul bahwa Republik Indonesia mempunyai wakil-wakilnya sendiri diluar negeri. Ia berusaha meyakinkan pihak Belanda bahwa perwakilan ini terkait pada diakuinya Republik defacto, yang sudah disetujui oleh pihak Belanda.
Malam itu atas undangan Presiden, Delegasi Belanda berkunjung pada Presiden di Kuningan. Dalam kesempatan itu hadir Wakil Presiden AK Gani dan Amir Sjarifudin. Sjahrir tidak hadir karena sangat lelah dan karena mengira kunjungan Belanda hanya merupakan kunjungan kehormatan.
Atas pertanyaan Presiden jalannya perundingan, Van Mook menjelaskan bahwa tercapai kesepakatan mengenai satu soal saja yakni usul Delegasi Indonesia untuk mengubah kata “merdeka” dibelakang kata “berdaulat” artinya, yang diusulkan oleh Delegasi Indonesia adalah agar NIS akan menjadi negara berdaulat. Lebih lanjut ia menerangkan bahwa selama perundingan Delegasi Belanda berkeberatan atas perubahan itu, tetapi setelah dibicarakan antara mereka sendiri, mereka akhirnya dapat menyetujui usul pihak Indonesia.
Van Mook tidak mengutarakan bahwa masih ada soal lain yang belum dipecahkan, yakni perwakilan Republik Indonesia diluar negri. Tetapi ia kemudian segera menanyakan kepada Presiden apakah dengan diterimanya oleh pihak Belanda perubahan “merdeka” menjadi “berdaulat” Presiden dapat menyetujui Rancangan Perjanjian seluruhnya. Atas pernyataan itu Presiden menjawab dengan nada antusias bahwa ia dapat menyetujuinya.
AK Gani dan Amir Sjarifudin segera melaporkan kepada Sjahrir sangat menyesalkan bahwa presiden sudah menyetujui Rancangan Perjanjian Linggarjati, padahal soal perwakilan Republik di luar negeri belum diputuskan. Tetapi Sjahrir tunduk pada keputusan Presiden. Maka waktu Schermerhorn datang dan mengusulkan untuk diadakan rapat pleno dan diketuai Killearn, Sjahrir pun menyetujuinya rapat pleno diadakan pada pukul 10.30 malam dengan Killear sebagai ketua rapat yang menyatakan kegembiraannya atas tercapainya kesepakatan kedua Delegasi.
Hari berikutnya tanggal 13 November, diadakan rapat antara kedua Delegasi. Sebelumnya Sjahrir telah bertemu dengan Presiden Soekarno yang tampak santai. Ia hanya mengusulkan agar dimasukan dalam rancangan perjanjian satu pasal yakni pasal mengenai arbitrase, yang diterima oleh Schermerhorn. Dengan dimasukannya pasal arbitrase terbukti pada dunia luar bahwa Republik Indonesia dan Negara Belanda sederajat. Komisi Jenderal kemudian berangkat ke Jakarta.
Pada tanggal 15 November diadakan rapat kedua Delegasi di Istana Rijswijk. Dalam rapat itu dimasukan pasal 17 mengenai arbitrase. Sorenya naskah dalam bahasa Belanda diparaf di rumah Sjahrir dan pada tanggal 18 diparaf naskah bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
- Perjanjian Renville
Delegasi Indonesia pada perjanjian Renville, tampak di antaranya Agus Salim dan Achmad SoebardjoPerjanjian Renville adalah perjanjian antara Indonesia dan Belanda yang ditandatangani pada tanggal 17 Februari 1948 di atas geladak kapal perang Amerika Serikat sebagai tempat netral, USS Renville, yang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Perundingan dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 dan ditengahi oleh Komisi Tiga Negara (KTN), Committee of Good Offices for Indonesia, yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia, dan Belgia.
Delegasi
Delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Syarifuddin Harahap. Delegasi Kerajaan Belanda dipimpin oleh Kolonel KNIL R. Abdul Kadir Wijoyoatmojo.
Gencatan senjata
Pemerintah RI dan Belanda sebelumnya pada 17 Agustus 1947 sepakat untuk melakukan gencatan senjata hingga ditandatanganinya Persetujuan Renville, tapi pertempuran terus terjadi antara tentara Belanda dengan berbagai laskar-laskar yang tidak termasuk TNI, dan sesekali unit pasukan TNI juga terlibat baku tembak dengan tentara Belanda, seperti yang terjadi antara Karawang dan Bekasi
Pasca perjanjian
Sebagai hasil Persetujuan Renville, pihak Republik harus mengosongkan enclave (kantong-kantong) yang dikuasai TNI, dan pada bulan Februari 1948, Divisi Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah.
Tidak semua pejuang Republik yang tergabung dalam berbagai laskar, seperti Barisan Bambu Runcing dan Laskar Hizbullah/Sabillilah di bawah pimpinan Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo, mematuhi hasil Persetujuan Renville tersebut. Mereka terus melakukan perlawanan bersenjata terhadap tentara Belanda. S.M. Kartosuwiryo, yang menolak jabatan Menteri Muda Pertahanan dalam Kabinet Amir Syarifuddin, kemudian mendirikan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Hingga pada 7 Agustus 1949, di wilayah yang masih dikuasai Belanda waktu itu, Kartosuwiryo menyatakan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII).
- PERJANJIAN ROEM-ROYEN
a. Latar belakang
Meskipun kemerdekaan Indonesia telah diproklamasikan, Belanda tetap saja tidak mau mengakui kelahiran negara indonesia. Dan Belanda pun membuat negara boneka yang bertujuan mempersempit wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Negara boneka tersebut dipimpin oleh Van Mook. Dan Belanda mengadakan konferensi pembentukan Badan Permusyawaratan Federal(BFO) 27 Mei 1948.
Dan pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda mengadakan Agresi Militer Belanda dengan menyerang kota Yogyakarta dan menawan Presiden dan Wakil Presiden beserta pejabat lainnya. Namun sebelum itu Presiden mengirimkan radiogram kepada Mr. Syafrudin Prawiranegara yang mengadakan perjalanan di Sumatera untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Dengan begitu Indonesia menunjukkan kegigihan mempertahankan wilayahnya dari segala agresi Belanda. Akhirnya konflik bersenjata harus segera diakhiri dengan jalan diplomasi. Dan atas inisiatif Komisi PBB untuk Indonesia, maka pada tanggal 14 April 1949 diadakan perundingan di Jakarta di bawah pimpinan Merle Cochran, Anggota Komisi Amerika.
b. Hasil
Perjanjian Roem Royen adalah sebuah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949, kemudian dibacakan kesanggupan kedua belah pihak untuk melaksanakan resolusi dewan keamanan PBB tertanggal 28 januari 1949 dan persetujuannya tanggal 23 Maret 1949. Namanya diambil dari kedua pemimpin delegasi, Mohammad Roem dan J. H. van Roijen.
Pernyataan Republik Indonesia yang dibacakan oleh Mr. Roem :
- Angkatan bersenjata Indonesia akan menghentikan semua aktivitas gerilya
- Pemerintah Republik indonesia akan menghadiri konfensi meja bundar
- Pemerintah Republik Indonesia dikembalikan ke Yogyakarta
- Angkatan bersenjata Belanda akan menghentikan semua operasi militer dan membebaskan semua tawanan perang
Pernyataan delegasi Belanda dibacakan oleh Dr. H.J. Van Royen :
- Pemerintah Belanda setuju bahwa pemerintah Republik Indonesia harus bebas dan leluasa melakukan kewajiban dalam satu daerah yang meliputi Karesidenan Yogyakarta.
- Pemerintah Belanda membebaskan secara tak bersyarat pemimpin-pemimpin republic Indonesia dan tahanan politik yang ditawan sejak tanggal 19 Desember 1948.
- Pemerintah Belanda setuju bahwa Republik Indonesia akan menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat. Konferensi Meja Bundar (KMB) akan diadakan secepatnya di Den Haag sesudah pemerintah Republik Indonesia kembali ke Yogyakarta.
Pada tanggal 22 Juni 1949 diselenggarakan perundingan segitiga antara Republik Indonesia, BFO dan Belanda. Perundingan itu diawasi PBB yang dipimpin oleh Chritchley, diadakan dan menghasilkan keputusan:
- Kedaulatan akan diserahkan kepada Indonesia secara utuh dan tanpa syarat sesuai perjanjian Renville pada 1948
- Belanda dan Indonesia akan mendirikan sebuah persekutuan dengan dasar sukarela dan persamaan hak
- Hindia Belanda akan menyerahkan semua hak, kekuasaan, dan kewajiban kepada Indonesia
c. Dampak
Dengan tercapainya kesepakatan dalam perundingan, Pemerintah Darurat Republik Indonesia memerintahkan Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk mengambil alih pemerintahan Yogyakarta oleh pihak Belanda.
Pada tanggal 1 juli 1949 pemerintah Republik Indonesia secara resmi kembali ke Yogyakarta disusul dengan kedatangan para pemimpin Republik Indonesia dari medan gerilya.
Pada tanggal 13 Juli 1949 diselenggarakan siding cabinet Republik Indonesia yang pertama, dan Mr. Syafrudin Prawiranegara mengembalikan mandatnya kepada wakil presiden Moh. Hatta dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX diangkat menjadi Menteri Pertahanan Merangkap Ketua Koordinator Keamanan.Konferensi Meja Bundar (KMB) akan diadakan secepatnya di Den Haag.
d. Kesimpulan
1) Perjanjian Roem-Royen mewujudkan keinginan Indonesia meraih Kedaulatan
2) Jalan Diplomasi terbukti lebih baik daripada jalan kekerasan atau perang yang dapat
menyebabkan banyak kerugian dan sulit tercapainya perdamaian antara kedua belah pihak.
- KMB (Konferensi Meja Bundar)
Konferensi Meja Bundar adalah sebuah pertemuan antara pemerintah Republik Indonesia dan Belanda yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda dari 23 Agustus hingga 2 November 1949.
Latar belakang
Usaha untuk meredam kemerdekaan Indonesia dengan jalan kekerasan berakhir dengan kegagalan. Belanda mendapat kecaman keras dari dunia internasional. Belanda dan Indonesia kemudian mengadakan beberapa pertemuan untuk menyelesaikan masalah ini secara diplomasi, lewat perundingan Linggarjati, perjanjian Renville, perjanjian Roem-van Roijen, dan Konferensi Meja Bundar.
Hasil konferensi
Hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) adalah:
- Serahterima kedaulatan dari pemerintah kolonial Belanda kepada Republik Indonesia Serikat, kecuali Papua Barat. Indonesia ingin agar semua bekas daerah Hindia Belanda menjadi daerah Indonesia, sedangkan Belanda ingin menjadikan Papua Barat negara terpisah karena perbedaan etnis. Konferensi ditutup tanpa keputusan mengenai hal ini. Karena itu pasal 2 menyebutkan bahwa Papua Barat bukan bagian dari serahterima, dan bahwa masalah ini akan diselesaikan dalam waktu satu tahun.
- Dibentuknya sebuah persekutuan Belanda-Indonesia, dengan monarch Belanda sebagai kepala negara.
- Pengambil alihan hutang Hindia Belanda oleh Republik Indonesia Serikat
- Pembentukan RIS
- Tanggal 27 Desember 1949, pemerintahan sementara negara dilantik. Soekarno menjadi Presidennya, dengan Hatta sebagai Perdana Menteri membentuk Kabinet Republik Indonesia Serikat. Indonesia Serikat telah dibentuk seperti republik federasi berdaulat yang terdiri dari 16 negara yang memiliki persamaan persekutuan dengan Kerajaan Belanda.
SUMBER : Jompayband.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar